Tanjungpriok dijaga serdadu Belanda

Saleh Suaidy, (orang Andalas II Balai) korespondennya, mengisi surat kabar itu dengan berita-berita perkembangan per- juangan di Sumatra Barat.

Di surat kabar tersebut dapat diketahui, Sumatra-Jawa yang sebelum agresi kedua merupakan daerah de fakto RI tercabik-cabik dengan berdirinya beberapa negara boneka Belanda, seperti Negara Sumatra Timur pimpinan dr.

Mansjur, Negara Sumatra Selatan oleh Dr.

Abdul Malik, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura dan lain-lain.

Semua menyusul Negara Indonesia Timur (NIT) yang terdiri dari Sulawesi, Maluku, dan Irian Barat.

Aceh, Sumatra Barat, dan Yogyakarta tetap dalam pangkuan RI.

Sumatra Barat nyaris menjadi Negara Minangkabau tapi tak ada tokoh yang mau jadi boneka Belanda.

Otak pembentukan negara-negara bagian tersebut, H.J.

van Mook Gubernur Jenderal Belanda yang kemudian menjadi Menteri Jajahan.

Berkat perjuangan diplomasi, delegasi Indonesia yang dipimpin Mohammad Roem, lawan diplomat senior Belanda van Royen, bulan Mei 1949, tercapai persetujuan perletakan senjata (cease fire) dalam perundingan di hotel Des Indes Jakarta (Duta Merlin sekarang, di Jalan Gajah Mada yang zaman Belanda bernama Molenvlit West Straat.) Persetujuan itu dikenal sebagai Roem-Royen Statement.

Saya sudah membayangkan sudah 

Saya sudah membayangkan sudah bisa pergi ke pulau Jawa tapi siapa yang mau ditepati? Jangan-jangan berulang peng- alaman pahit lagi.

Sehari-hari saya rajin baca koran dan majalah yang terbit di Medan dan Jakarta.

Di Jambi sendiri sama sekali tak ada koran lokal apa pun, cetak atau stensilan.

KONTAK DENGAN JAKARTA Suatu hari saya beli majalah Mimbar Indonesia pimpinan Jusuf Wibisono.

Pemimpin Redaksinya Darsjaf Rahman.

Salah satu karangan-judulnya saya lupa-ditulis Nawawi Mans.

Lama saya tatap Saya coba berkirim surat kepada pengarang ini, bertanya apakah Nawawi Mans ini pernah mengajar di Perguruan Islam Lawang.

Kalau benar, saya sertakan bertanya apa beliau mengetahui di mana kakanda Rasjidin Rasjid yang pernah lakarta, 1950-an Menggluts Dunia Pery SESUAI petunjuk awak kapal tadi, saya tawar ongkos oplet ke Matraman, dan cocok.

Tanjungpriok dijaga serdadu Belanda.

 Tanjungpriok dijaga serdadu Belanda

Kawasan pelabuhan dipagar kawat berduri (ring-bewaalcing Di pintu keluar yang diperiksa hanya surat jalan dan tidak Goode midag, San!" sapaan selamat siang pada sersan itu.

Melalui Gunung Sahari, Pasar Senen dan Kramat, akhirnya saya diberhentikan di Pasar Matraman.

Tak sampai satu jam dari Tanjungpriok.

Sejak Jalan Gunung Sahari sampai Matraman terlihat di atas jalan raya ada jalur rel kembar.

Rupanya jalan trem, kereta listrik untuk beberapa lijn jurusan) seantero kota.

Dari Kampung Melayu ke Pasar Ikan.

Satu lijn via Gunung Sahari-Sawah Besar.

Ada lijn lewat Lapangan Banteng dan Hamoni.

Dari Kramat menuju Tanah Abang lewat Cikini sampai ke Harmoni.

Satu lijn lagi menuju Gambir dan RIjswijk, Istana Merdeka sekarang.

Comments

Popular posts from this blog

Nasi Box : Resep Tortilla Jagung Dari Masa Harina

Sewa Bus : Petualangan Paket wisata di St Moritz

Catering Jogja Murah : Makan, Ingatan: Sacré Cordon Bleu!